KOMPAS DI KAMPUS

Setelah seluruh rangkaian proses penamatan masa sekolah di Madrasah Aliyah Negeri 2 (MAN 2) Makassar selesai, sebagai anak rantau tentu berkewajiban untuk kembali ke kampung halaman mengabarkan sekaligus melaporkan kepada kedua orang tua bahwa sudah lulus sekolah.

Dengan rasa senang campur bangga berkesempatan menceritakan kelulusan itu yang seterusnya memantik diskusi ringan tapi serius bagaimana kelanjutannya setelah lulus sekolah menengah atas. Ayah saya kemudian bertanya, kan sudah lulus berarti kamu harus lanjut kuliah, katanya.

Saya pun menjawab, asal ayah mampu membiayai, saya siap lanjut. Kataku dengan suara pelan. Kemudian, tak disangka jawaban balik ayah saya yang sangat luar biasa sekaligus cambuk bagi saya untuk serius kuliah. “Jangan bilang begitu nak, jika harus jual diri demi untuk saya sekolahkan kau tinggi-tinggi, maka saya akan lakukan itu” tegas ayah saya meyakinkan.

“Kalau begitu saya siap kuliah ayah” jawabku yakin. Setelah itu ayah saya bertanya, kamu mau kuliah di mana? Katanya, saya bilang saya mau kuliah di IAIN (sekarang UIN). Jawabku. Kenapa bukan di UNHAS, kalau mau kuliah di Unhas silahkan mendaftar di sana, katanya lagi. Tapi saya tetap meyakinkannya dengan mengatakan, tidak, saya mau kuliah di IAIN karena selain saya dari pesantren dan MAN, di sana juga ada Daeng Ngawingku (Kak Ollenk, pen), kataku.

Mungkin dengan alasan mau ikut kak Ollenk sehingga ayah saya pun merelakan saya kuliah di UIN saat itu. Akhirnya, jadilah saya mendaftar di kampus hijau itu dan mengambil jurusan yang sama dengan kak Ollenk pada pilihan pertama yakni Jurusan Peradilan Agama (PA) Fakultas Syariah, tetapi ternyata saya tidak lulus di pilihan pertama itu, namun dinyatakan lulus di pilihan kedua yaitu Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah.

Seiring berjalannya waktu, saya kemudian mulai berinteraksi dengan kawan-kawan sekampus, tetapi ada satu hal yang kerap menjadi perhatian saya adalah mengintip apa yang me jadi kebiasaan kak Ollenk. Karena setelah saya selesai masa OSPEK, kak Ollenk kemudian membawa saya ke pergaulan baru untuk berbaur dengan teman-teman organisasinya, yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), seingat saya kak Ollenk mengantar saya untuk ikut Masa Perkenalan Anggota Baru atau MAPERCA HMI seperti yang tertulis di spanduk tempat kegiatan itu.

Pasca maperca, saya tidak lagi menghiraukan “perintah” kak Ollenk untuk lanjut perkaderan di Basic Training atau Bastra HMI, saya kemudian larut dengan teman-teman baru dengan aliran yang berbeda dengan kak Ollenk.

Setidaknya tiga semester (1995 – 1997) saya lalui dengan suasana baru itu yang hampir membuatku putus kuliah karena salah bergaullah ceritanya. Tetapi, alhamdulillah memasuki semeter keempat di tahun 1997 itu saya terdorong sendiri untuk mengikuti basic training HMI dan seterusnya aktif menjafi aktivis di organisasi yang didirikan oleh Prof. Lafran Pane itu.

Di organisasi itu saya pun mulau menata diri, mencari jati diri, mengasah diri dengan berbagai macam aktifitas bersama teman-teman seorganisasi dan sekampus seperti membentuk kelompok belajar, membiasakan membaca buku, belahar menulis, ikut-ikut demonstrasi.

Kompas di Kampus

Setelah menjadi aktivis, seterusnya saya banyak mengintip apa yang menjadi kebiasaan kak Ollenk. Saya kemudian melihat dati dia bahwa dia adalah seorang aktivis yang terkenal, dimana-mana terpampang namanya di dinding-dinding kampus “Ollenk Jentack”, dan kak Ollenk sangat populer karen hampir semua mahasiswa kenal. SetiP saya ketemu senior dan kawan, bahasanya selalu adiknya Ollenk ya, adiknya kak Ollenk ya? Saya menjawab saja iya, tapi dalan hati saya bertanya-tanya kenapa kak Ollenk begitu terkenal?

Hari berganti hari, saya akhirnya dipertemukan dengan tiga sahabat seangkatan saya yang berbama Suwandi, Zainal Abidin dan Muhammad Nasir “Buntus”. Suwandi adalah aktivis kutu buku, rajin membaca dan karena dia cerdas. Zainal Abidin adalah pengurus hinpunan, arah berpikirnya ke politik kampus, sementara Buntus adalah seorang anggota HMI yang juga sedang mencari jati diri. Kami berempat aktif membuat kajian buku dan diskusi berat terkait isi buku dan issu-issu aktual di kampus dan di luar kampus. Setelah berbulan-bulan dengan kegiatan yang bergantian menjadi narasumber itu, akhirnya ketoga teman saya itu kemudian mendorong saya agar belahar orasi, anehnya lagi saya harus belajar orasi dengan gaya dan majas seperti kak Ollenk, katanya sayalah penerus kak Ollenk jadi harus bisa tampil seperti dia. Dari sanalah saya mulai mengikuti kebiasaan kak Ollenk, belajar baca buku, rajian kajian dan hobby demonstrasi.

Saya pun mulai menulis nama saya di dinding kampus di mana ada nama kak Ollenk berada, saya selalu pun melukis nama saya berdampingan dengan namanya. Pemahaman saya saat itu sederhana, saya juga ingin dikenal seperti dia, saya juga ingin seluruh masyarakat kampus mengetahui bahwa bukan hanya Ollenk ada di IAIN kala itu, tapi juga ada adik sepupunya yang bernama Attock.

Sanad Perjuangan

Salah satu yang menginspirasi bagi saya adalah karena kak Ollenk tidak pernah